Kamis, 16 November 2017

Sejarah Tempe Di Indonesia


Tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang, tempe berasal dari Indonesia. Tidak jelas kapan pembuatan tempe dimulai. Namun, makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta. Dalam bab 3 dan bab 12 manuskrip Serat Centhini dengan seting Jawa abad ke-16 (Serat Centhini sendiri ditulis pada awal abad ke-19) telah ditemukan kata "tempe", misalnya dengan penyebutan nama hidangan jae santen tempe (sejenis masakan tempe dengan santan) dan kadhele tempe srundengan. Hal ini dan catatan sejarah yang tersedia lainnya menunjukkan bahwa mungkin pada mulanya tempe diproduksi dari kedelai hitam, berasal dari masyarakat pedesaan tradisional Jawa—mungkin dikembangkan di daerah Mataram, Jawa Tengah, dan berkembang sebelum abad ke-16.

Kata "tempe" diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut.
Selain itu terdapat rujukan mengenai tempe dari tahun 1875 dalam sebuah kamus bahasa Jawa-Belanda. Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan. Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji1 kedelai yang difermentasikan menggunakan kapang Aspergillus. Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.
Menelusuri sejarah tempe tak bisa lepas dari bahan bakunya, kedelai. Menurut pakar tempe dari Universitas Gajah Mada, Mary Astuti dalam Bunga Rampai Tempe Indonesia, kata kedelai yang ditulis kadele dala bahasa jawa ditemukan dalam Serat Sri Tnjung (abad ke-12 atau 13). Selain dalam serat legenda kota Banyuwangi itu, kata kedelai juga dijumpai dalam Serat Centini, yang ditulis oleh juru tulis keratin Surakarta, R Ng Ronggo Sutrasno pada 1814. Pada jilid kedua Serat Centini digambarkan perjalanan Cebolang dari Purbalingga menuju Mataram, kemudian singgah di rumah Ki Amongtrustha, yang menjamu makan malam dengan lauk bubu dhele. Di mataram, Cebolang diberitahu bhawa sesaji dalam kacar-kucur, yakni upacara persiapan pernikahan anak, terdapat kacang kawak (lama) dan kedelai kawak, beras kuning, bunga, dan uang logam.
Menurut narturalis jerman, Rumphius, tanaman kedelai (de cadelia plant) dalam bahasa latin disebut phaseolus niger, kadele (jawa), zwarte boonties (belanda), dan authau (thiongkok). Hasil amatan Rumphius, orang Tionghoa tidak mengolah kedelai menjadi tempe. Tapi mengolah bijikedelai hitam tersebut menjadi tepug, sebagai bahan tahu, dan laxa atau tautsjian, mie berbentu pipih. Karena kacang dalam bahasa Tiongkok disebt duo(tao)/touya (toge), touzi (tauci) dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian genetic, kedelai berasal dari Tiongkok, meski tidak ada keterangan apakah jenisnya kedelai hitam atau kuning sejarawaan Ong Hok Ham dalam “Tempe Sumbangan Jawa Untuk Dunia,” Kompas, 1 januari 2000,  kacang kedelai sudsh sejak 5.000 tahun lalu dikenal di Tiongkok. Namun, Mary Astuti mempertanyakannya: jika berasal dari Tiongkok mengapa kedelai tidak pernah disebutkan dalam jenis-jenis komoditas yang diperdagangkan di Jawa. Musafir Tiongko, Ma Huan yang mengunjungi majapahit sekira abad ke-13, mencatat bahwa di majapahit terdapat koro padang berwarna uging, tanpa menjelaskan kegunaan tersebut. Dia tidak mebandingkan kacang itu dnegan kacang yang ada di negerinya. Seperti halnya, membandingkan suhu udara di majapahit degan di tiongkok. Ini menunjukkan, kacang yang sebleum China datang ke Tanah Jawa, “ tulis Astuti. “Menurut aggapan orang jawa zaman dulukata dele berartihitam. Ada kemungkinan kedelai hitam sudah ada di tanah jawa sebelum orang hindu datang dan kemungkinan dibawa oerang Tamil.
Penemuan tempe berhubungan erat dengan produksi tahu di Jawa, karena keduanya dibuat dari kacang kedelai. Tahu sendiri dibawa oeh orang Tiongkok ke Jawa, yang mungkin sudah ada sejak abad ke-17. “bukan hanya bahnnya yang sama, akan tetapi mungkin juga secara langsung penemuan tempe berkaitan dnegn produksi tahu,” tulis Ong. “ tempe muncul darkedelai buangan pabrik tahu yang kemudian dihinggapi kapanh. Kemudian jadi tempe kedelai,” kata wartawan spesialis sejarah oangan, Andreas Maryoto. “Ini saya kaitkan karena tmempe yang lain berasal dari limbah : tempe gembus dari limbah kacang, tempe bongkrek dari limbah kelapa. Bila kemudian tempe kdelai dari kedelai bukan limbah, mungkin itu, upgrade saja,” sambungnya.
Ong kemudian mengaitkan perkembangan tempe dengaan kepadatan penduduk, baik di Tiongkok maupun di Jawa. Kepadatan penduduk sejak berabad-abad telah mempengaruhi seni masak Tiongkok. Akibat kepadatan penduduk terjadi persaingan ruang antara manusia dan hean yang memerlukan lading-ladang rumput luas bagi hidupnya. Akibat seni masak Tiongkok berkisar pada hewan peliharaan rumah seperti babi, ayam, bebek dan sebagianya.
Keadaan itu tidak jauh berbeda dengan jawa. Pekarangan menyediakan  ahan baku maknan seperti ayam, kambing, sayur-sayuran, pohon kelapa, dan lain-lain. “baru dalam abad ke_19, menu hewani akhirnya berubah menjadi tempe. Ini akibat kenaikan jumlah penduduk yang amat tinggi pada abad ke-19, sehingga pulau jawa menjadi wilayah pertama yang sangat padat di Asia Tenggara,” tulis Ong.
Disisi lain, lanjut Ong, meluasnya perkebunan colonial mebuat wilayah hutan menciut dan membuat para petani sebagai kulinya, mengurangi berbru, bertenak maupun memancing. Dampaknya, menu makanan orang jawa yang tanpa daging. Tanam paksa makin mebuat bahan makanan seperti tempe menjadi vital sebagai penyelamat kesehatan pendduk. “bisa dikatakan,” tulis Ong, “penemuan tempe adalah sumbangan Jawa pada seni masak dunia. Saynagnya, seperti halnya banyak pertemuan makanan sebelum zamaan paten, maka penemu tempepun anonym,” lanjutnya.
Ditilik dari muasal katanya, menurut Astuti, tempe bukan berasal dari bahasa Tiongkok, tapi bahasa jawa kuno, yakni tumpi, maknanan berwarna putih yang dibuat dari tepung sagu, dan tempe berwarna putih. Kata tempe juga ditmeukandalam serat centhini jilid ke tiga, yang menggambarkan perjalanan Cebolang dari candi Prambanan menuju Pajang, mampir didusun Tembayar wilayah Kabupaten Klaten dan  dujami makan siang oleh Pangeran Bayat dengan lauk seadanya.
Tempe berasal dari kata Nusantara tape, mengandung arti fermentase, dan wadah besar tempat produk fermentasi disebut tempayan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: jaringan Asia. Menurut Ong, dalam Encyclopedia van Nederlandch Indie, tempe disebut sebagai ‘kue’ yang terbuat dari kacang kedelai melalui proses peragian dan merupakan makanan kerakyatan. Disebut makanan kkerakyatan, kata Maryoto, karena tempe diciptakan oleh rakyat, bukan istana. “karena itu, muncul istilah ‘bangsa tempe’, sebagai bentuk stigmatisasi dari kalangan priyayi,” ujar Maryoto. “sekarang tempe tidak lagi sebagai makanan rakyat,” Maryoto menambahkan. “Pamor tempe semakin terangkat ketika gairah kuliner meningkat, sehingga tempe menjadi makanan kita smeua.”
Tempe di Indonesia
Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata per orang per tahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg.
Pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, para tawanan perang yang diberi makan tempe terhindar dari disentri dan busung lapar. Sejumlah penelitian yang diterbitkan pada tahun 1940-an sampai dengan 1960-an juga menyimpulkan bahwa banyak tahanan Perang Dunia II berhasil selamat karena tempe. Menurut Onghokham, tempe yang kaya protein telah menyelamatkan kesehatan penduduk Indonesia yang padat dan berpenghasilan relatif rendah.
Namun, nama 'tempe' pernah digunakan di daerah perkotaan Jawa, terutama Jawa tengah, untuk mengacu pada sesuatu yang bermutu rendah. Istilah seperti 'mental tempe' atau 'kelas tempe' digunakan untuk merendahkan dengan arti bahwa hal yang dibicarakan bermutu rendah karena murah seperti tempe. Soekarno, Presiden Indonesia pertama, sering memperingatkan rakyat Indonesia dengan mengatakan, "Jangan menjadi bangsa tempe." Baru pada pertengahan 1960-an pandangan mengenai tempe ini mulai berubah.
Pada akhir 1960-an dan awal 1970-an terjadi sejumlah perubahan dalam pembuatan tempe di Indonesia. Plastik (polietilena) mulai menggantikan daun pisang untuk membungkus tempe, ragi berbasis tepung (diproduksi mulai 1976 oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan banyak digunakan oleh Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia, Kopti) mulai menggantikan laru tradisional, dan kedelai impor mulai menggantikan kedelai lokal. Produksi tempe meningkat dan industrinya mulai dimodernisasi pada tahun 1980-an, sebagian berkat peran serta Kopti yang berdiri pada 11 Maret 1979 di Jakarta dan pada tahun 1983 telah beranggotakan lebih dari 28.000 produsen tempe dan tahu.
Standar teknis untuk tempe telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia dan yang berlaku sejak 9 Oktober 2009 ialah SNI 3144:2009. Dalam standar tersebut, tempe kedelai didefinisikan sebagai "produk yang diperoleh dari fermentasi biji kedelai dengan menggunakan kapang Rhizopus sp., berbentuk padatan kompak, berwarna putih sedikit keabu-abuan dan berbau khas tempe”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar